Rabu, 30 Juli 2008

SOLIDARITAS MASYARAKAT AMERIKA

Pada 11 September 2001 New York dikejutkan oleh serangan yang menghancurkan dua pencakar langit simbol kapitalisme Amerika Serikat. Amerika telah menjadi sasaran ”teroris”. Banyaknya korban yang berjatuhan membuat seluruh mata tertuju pada peristiwa naas tersebut. Mayarakat dunia ikut merasakan kepedihan rakyat AS. Sebuah serangan yang mungkin akan menyadarkan atau bahkan membangunkan masyarakat AS dari tidur lelapnya.


Beberapa hari setelah terjadinya serangan tersebut, National Science Foundation bersama Rockefeller Fuondation dan Columbia University membentuk sebuah proyek yang dinamakan The September 11, 2001: Oral History Narrative And Memory Project. Proyek ini bertujuan untuk melihat bagaimana reaksi masyarakat New York pada umumnya beberapa har setelah terjadinya serangan dimana masyarakat belum termakan propaganda media dan retorika para politisi.


Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of American Historiy tersebut memaparkan bahwa, pada umumnya masyarakat Amerika mengalami dua trauma yang berbeda. Yang pertama adalah trauma akan kehilangan sesama dan kehancuran yang mereka saksikan dan alami sendiri. Trauma ini adalah efek langsung dari serangan tersebut. Kedua, yang cukup menarik adalah ketakutan akan terulangnya kejadian yang telah mereka alami baik di negara mereka sendiri maupun di negara lain. sebahagian dari responden bahkan takut akan pembalasan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah AS kepada negara lain karena mereka telah mengalami kepedihan akibat serangan yang menghancurkan tersebut.


Pasca perang dunia ke II, Amerika telah memperlihatkan dirinya sebagai salah satu kekuatan dunia yang akan menguasai dunia ini. Hal ini menjadi semakin nyata setelah hancurnya Uni Soviet setelah perang dingin. Sejak saat itu, Amerika menjadi satu-satunya negara di dunia yang menjadi adidaya.


Sebagai satu-satunya negara adidaya, AS mengontrol semua negara di dunia. Ia telah menjadi polisi dunia. Bahkan lebih dari itu, ia telah menjadi hakim bagi negara-negara yang di anggap mempunyai kesalahan. Maka tidak mengherankan di bagian dunia manapun, Amerika ambil bagian dalam menentukan kebijakan yang dikelurkan oleh pemimpin-pemimpin negara. Jika tidak dipatuhi, Embargo yang akan dijatuhkan kepada negara tersebut, atau bahkan perang menjadi hukuman terakhir yang akan dijatuhkan seperti halnya yang di alami oleh Irak yang dipimpin oleh Saddam Husein.


Dengan segala kemampuan yang dimilikinya, Amerika akan dengan mudah menggunakan pengaruhnya ke negara-negara lain, baik itu dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya. Mungkin atas dasar itulah, Francis Fukuyama mengatakan Kapitalisme adalah akhir dari peradaan dunia. Amerika yang menganut paham kapitalisme dalam ideologi negaranya adalah pengontrol dunia saat ini.


Belajar dari kasus kredit perumahan yang macet di Amerika yang menghancurkan ekonomi negara tersebut beberapa waktu yang lalu. Kejadian itu mempengaruhi perekonomian dunia secara keseluruhan. Para pelaku pasar sangat memperhatikan perekonomian Amerika dalam mengambil sebuah keputusan. Tidak hanya di Eropa atau Cina, negara-negara berkembang seperti Indonesia juga mengalami hal yang sama. Semua negara takut akan terjadinya krisis moneter yang melanda dunia akibat kasus tersebut.


Begitupun dalam persoalan minyak dunia yang saat ini sudah menembus angka $ 130 per barel. Ini akibat spekulasi para pedangan minyak yang berada di Amerika. Kasus-kasus ini mengindikasikan bahwa Amerika masih menjadi corong dalam mengambil kebijakan-kebijakan dunia.


Dalam hal keamanan negara, AS merupakan satu-satunya negara yang tidak pernah di serang oleh negara lain. Dengan letak geografis yang sangat jauh baik dari Asia, Eropa maupun Afrika, AS berada dalam posisi yang aman. Bahkan Jepang pada perang Dunia II hanya mampu mencapai kepulauan Hawaii yang berada di Kanada yang cukup jauh dari daratan AS. Sedangkan AS dengan sekutunya mampu menghancurkan Nagasaki dan Hirosima yang mengakibatkan kondisi kedua daerah tersebut hancur berantakan.


Dengan kondisi demikian, maka AS merupakan tempat tinggal yang aman bagi para penduduknya. Masyarakat Amerika bahkan tidak pernah merasakan bagaimana menyedihkannya hidup dalam peperangan seperti yang di alami oleh masyarakat di belahan dunia lain seperti Palestina dan Irak yang hancur akibat invasi AS.


Satu-satunya kesedihan yang melanda masyarakat Amerika adalah bencana alam yang mungkin datang melanda negara tersebut seperti halnya badai Katerine yang terjadi beberapa waktu yang lalu.


Kondisi ini membuat masyarakat Amerika kurang peka terhadap persoalan-persoalan yang menimpa masyarakat di belahan dunia lainya. Mental inilah yang menggerogoti masyarakat Amerika beberapa tahun yang lalu sebelum terjadinya serangan 11 September 2001.


EP Thompson dalam bukunya Protest and Survive pada tahun 1980 menulis bahwa ada beberapa hal yang mendasari terciptanya mentalitas masyarakat AS yang begitu tidak peduli. Pertama, letak geografis yang cukup jauh dari Eropa dan Asia yang dibentengi oleh dua samudera besar. Hal ini menjadikan terbentuknya sebuah kepercayaan pada masyarakat AS bahwa perang hanya terjadi ”diseberang sana” sedangkan ditempat mereka aman sentosa. Tentu saja mentalitas ini berbeda dengan mental masyarakat Asia, Afrika atau Eropa yang pernah mengalami trauma perang. Sehingga ketakutan dalam perang selalu membayangi benak masyarakatnya. Terlebih lagi mentalitas ini ditambah dengan propaganda media dan politisi yang mencari dukungan masyarakat.


Faktor-faktor itulah yang menyebabkan terciptanya mental masyarakat AS yang didasari oleh rasa over-confident dimana Amerika dapat berteriak kepada musuhnya ”Nuklir Mereka”. Di lain pihak, nuklir Amerika yang mampu menghancurkan seluruh dunia tidak pernah dipublikasikan kedunia luar.


Namun, mental Amerika yang seolah tidak mau tahu kondisi masyarakat di belahan dunia lain mulai berubah setelah mereka merasakan sendiri bagaimana pahitnya diserang oleh orang lain. Peristiwa 11 September 2001 telah menyadarkan masyarakat AS akan ketidakpeduliannya terhadap yang lain. Inilah salah satu hikmah atas terjadinya serangan tersebut. Bukan bermaksud untuk membenarkan serangan tersebut, namun, sebagai sokterapi bagi masyarakat AS yang merasa hidup dalam damai.


Faktor lain yang merubah mental masyarakat AS adalah lebih berimbangnya media dalam memberikan informasi. Selama ini, masyarakat AS hanya melihat berita di CNN atau yang lainnya yang selalu memberikan propaganda-propaganda kepada masyarakat AS. Saat ini ada dengan teknologi informasi yang cukup maju, masyarakat AS bisa melihat bagaimana kepedihan yang di alami oleh masyarakat di Irak akibat Perang, atau Palestina yang selalu di serang oleh Israel atau Afganistan dengan perang melawan terorisnya yang disiarkan oleh televisi-televisi Timur Tengah atau melalui internet.


Saat ini, pasca Serangan 11 September 2001, sesuai dengan hasil penelitian dari Columbia University dan lain-lain, masyarakat AS sudah mengalami tingkat solidaritas kebersamaan atas tragedi yang menimpa negara-negara lainnya. Tidak mengherankan saat ini, kita melihat banyak warga Amerika yang menentang perang baik itu di Irak atau bahkan Iran yang mungkin akan menjadi sasaran berikutnya.


Masyarakat AS sudah tidak percaya lagi dengan omongan para politisi yang mengeluarkan kebijakan perang melawan teroris atau perang atas nama menghancurkan senjata nuklir di sebuah negara. Tidak hanya masyarakat AS yang sudah muak dengan perang tersebut, bahkan seluruh duniapun sudah paham apa yang di inginkan oleh penguasa AS sebenarnya.



Rabu, 16 April 2008

Konsolidasi vs Golput

KESOLIDAN vs GOLPUT

Oleh : Sunardi Panjaitan

(Peneliti Institut Epistema Jakarta)

Kemenangan Ahmad Heryawan dan Dede Jusuf dalam pilkada Jawa Barat mengagetkan banyak pihak. Calon yang semula tidak diunggulkan dalam beberapa survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei sebelumnya, mampu menjadi pemenang yang sementara ini mengungguli calon-calon lainnya.

Dalam beberapa survei yang dilakukan sebelum pilkada berlangsung, menunjukkan pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Jusuf (Hade) yang diusung oleh PKS-PAN kalah popularitas dari dua pasangan lainnya yakni Dani Setiawan-Iwan Ridwan Sulandjana (Da’I) dan Agung Gumelar-Nu’man Abdul Hakim (Aman). Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan seputar kemenangan yang diraih oleh Hade.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, setidaknya ada dua hal yang dapat dijadikan bahan analisis dalam pilkada Jabar ini. Pertama, tingginya tingkat golput (golongan putih) dalam pilkada kali ini. Akibatnya tingkat golput mampu mempengaruhi hasil akhir pilkada.

Tingginya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya disebabkan beberapa faktor. Pertama, tidak adanya figur yang dinilai mampu untuk merubah kondisi Jabar yang ada saat ini. Kondisi perekonomian yang tak kunjung membaik serta tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran, membuat masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya. Pilkada tidak mampu menolong masyarakat dari keterpurukan.

Dalam hal ini, masyarakat berpandangan bahwa pilkada hanya sekedar pergantian elit politik tapi tidak akan menyentuh pada peningkatan taraf hidup masyarakat. Pada tataran inilah, diharapkan pilkada tidak hanya menjadi alat untuk mengganti elit tapi juga pilkada yang mampu menyejahterakan masyarakat. Oleh sebab itu, dalam kasus pilkada Jabar kali ini, masyarakat lebih memilih untuk melaksanakan rutinitas seperti biasanya dari pada memberikan suaranya.

Kedua, masyarakat sudah mengetahui track record calon yang maju dalam pilkada. Dani Setiawan dan Nu’man Abdul Hakim adalah gubernur dan wakil gubernur incumbent. Sedangakan Agung Gumelar adalah cawapres pada pemilu 2004 lalu yang juga mantan menteri pada era Megawati Soekarno Putri. Sementara itu, Dede Jusuf merupakan artis terkenal dan juga anggota DPR-RI. Hal ini membuat masyarakat tidak mempunyai pilihan lain. Ketika hal ini terjadi, golput menjadi solusi terakhir bagi masyarakat.

Analisis yang kedua adalah bekerjanya masin politik pada masing-masing partai pendukung sehingga tercipta massa pendukung yang solid. Hal ini yang dilakukan oleh partai pendukung Hade yakni PKS-PAN. PKS mampu menjaga kesolidan massanya hingga tidak ada yang melakukan golput.

Solidnya massa pendukung merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh partai politik. Dalam kasus pilkada Jabar, pada dasarnya masyarakat yang memilih golput adalah massa pendukung yang pada pemilu 2004 lalu merupakan massa pendukung partai-partai besar yang menjadi pemenang pemilu pada pemilu legislative seperti Golkar dan PDI-Perjuangan. Sementara itu, PKS dengan mesin politik yang terus bekerja pasca pemilu 2004 lalu mampu menjaga kesolidan kader-kadernya terutama pada tingkatan grass root sampai pada pilkada kali ini.

Pada saat massa partai besar seperti Golkar dan PDI-Perjuangan banyak yang melakukan golput yang berakibat berkurangnya massa pendukung, partai-partai lain tetap menjaga kader-kadernya untuk tetap solid, sehingga tidak terjadi perpecahan dan tidak ada yang melakukan golput. Dan hal inilah yang dilakukan oleh PKS-PAN. PKS yang mengusung Ahmad Heryawan bermodalkan kesolidan kadernya sementara PAN yang mengusung Dede Jusuf mengandalkan popularitas yang dimiliki oleh Dede Jusuf untuk meraih suara dari pemilih mengambang dan kaum ibu.

Pada sisi yang lain, wacana kepemimpinan kaum muda yang dibawa oleh Hade, mampu mendongkrak suara dari pemilih. Paling tidak, kejenuhan masyarakat akan pemimpin incumbent dan pemimpin yang sudah tua serta keinginan masyarakat untuk mempunyai pemimpin baru yang lebih muda yang diharapkan mampu membawa perubahan dalam masyarakat. Walaupun pada dasarnya tidak ada jaminan yang bisa diberikan, membuat Hade mampu mengungguli dua pasangan lainnya. Merupakan perpaduan yang cukup komplet antara keduanya.

Belajar dari pilkada Jabar ini, golput seharusnya menjadi perhatian serius partai politik. Tingginya tingkat golput mampu mempengaruhi peta politik yang sudah ada sebelumnya. Rakyat tidak hanya dijadikan objek dari keinginan elit politik untuk menjadi penguasa. Akan tetapi, pilkada harus dijadikan ajang pembuktian oleh partai politik untuk mensejahterakan konstituennya. Habis manis sepah dibuang, pepatah ini menggambarkan perilaku partai politik selama ini, dimana pasca pemilu rakyat dibiarkan dengan kehidupannya masing-masing. Sehingga pada pesta demokrasi selanjutnya baik itu, pemilu maupun pilkada, masyarakat enggan untuk memberikan suaranya.

Rabu, 13 Februari 2008


Obama, Jidal dan Kepemimpinan Kaum Muda
Oleh: Sunardi Panjaitan

Perhelatan pesta demokrasi yang saat ini berlangsung di Amerika Serikat, membawa secercah harapan akan lahirnya kepemimpinan kaum muda di Indonesia. Paling tidak kehadiran tokoh-tokoh muda di negara adidaya tersebut mampu menginspirasi kaum muda Indonesia untuk mengambil alih kepemimpinan negeri ini.

Kehadiran Barack Obama dalam daftar calon presiden partai Demokrat yang bersaing dengan Hillary Clinton serta terpilihnya Piyush Jidal, anak muda keturunan India menjadi gubernur di salah satu negara bagian Louisiana menunjukkan bahwa kaum muda negeri adidaya tersebut mampu bersaing dengan politikus lama yang sudah tua.

Barack Obama, di usianya yang relatif muda saat ini menjadi salah satu calon terkuat partai demokrat untuk menjadi presiden pada pemilu November mendatang. Sedangkan Jidal, di usia yang 37 tahun telah menjadi gubernur di negara bagian. Di usia yang cukup muda mereka mampu hadir dalam percaturan politik yang berjalan secara ketat dan demokratis.

Keberanian Berpolitik

Hal pertama yang harus dilakukan oleh kaum muda dalam rangka merebut kepemimpinan yang saat ini masih dikuasai oleh kalangan tua yang sudah terbukti gagal dalam mengimplikasikan agenda-agenda reformasi adalah terlibat langsung dalam partai politik sebagai jalan masuk utama dalam perpolitikan. Hal inilah yang juga dilakukan oleh Obama dan Jidal hingga mereka mampu tampil sebagai pelopor kepemimpinan kaum muda di negara adidaya tersebut.

Obama yang tercatat sebagai kader partai Demokrat dan Jidal sebagai kader partai Republik membuktikan bahwa partai politik adalah sarana yang tepat untuk melakukan perubahan yang gagal dilakukan oleh pendahulunya.

Lain halnya dengan kaum muda di Indonesia yang cenderung menjauhi partai politik. Kaum muda yang di dominasi oleh aktivis-aktivis independen yang tidak berafiliasi dengan partai politik manapun. Hal ini sebenarnya akan menghambat agenda-agenda pengambilalihan kepemimpinan oleh kaum muda. Kaum muda lebih sering mengemukakan idenya dalam bentuk kritik-kritik di media massa, yang belum tentu bisa di akomodir oleh partai politik.

Memang terdapat jalur lain yang bisa dimaksimalkan yakni dibukanya jalur independen dalam pilkada atau mungkin dalam dalam pilpres nanti. Namun, dalam mengkonsolidasi massa hanya bisa dilakukan oleh partai politik, calon independen akan sangat sulit berkompetisi dengan partai politik yang sudah mempunyai mesin politik yang pasti.

Tawaran lain bagi para kaum muda yang juga aktivis independen adalah membentuk partai politik sendiri. Di mana para aktivis muda menyatukan diri dalam satu partai politik yang dibentuk secara bersama. Sehingga tidak lagi terbentur oleh kebijakan kaum tua yang saat ini mendominasi di partai-partai besar seperti Golkar, PDI-Perjuangan, Partai Demokrat, PPP dan lain-lain.

Munculnya partai politik yang sepenuhnya di isi dan di dukung oleh kaum muda juga mempunyai manfaat lain selain mengakomodasi kepentingan politik kaum muda juga tidak terjadi pertikaian antara aktivis muda dalam aktivitas politiknya. Jika para aktivis muda tersebar dalam beberapa partai politik, masih dimungkinkan terjadinya perbedaan pendapat yang notabene membela kepentingan partai palitiknya.

Dibutuhkan keberanian dari kalangan muda untuk berani tampil dalam hiruk-pikuk panggung politik. Jika tidak demikian maka wacana kepemimpinan kaum muda hanya sekedar wacana yang yang tidak pernah terealisasikan. Mengharapkan kaum tua yang saat ini mendominasi panggung politik untuk melirik kaum muda untuk di dorong menjadi pemimpin bangsa kedepan adalah hal yang mustahil karena masih adanya keinginan kuat untuk mempertahankan status quo-nya.

Belajar dari Obama dan Jidal

Menjelang pemilihan umum tahun 2009 nanti, kehadiran kepemimpinan kaum muda menjadi sebuah keharusan mutlak sebagai upaya mengembalikan keindonesiaan ke rel sesungguhnya. Cita-cita kita berbangsa dan bernegara hendak dihela kembali pada jalur mulianya seperti tertegaskan dalam Pembukaan UUD 1945: menciptakan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sudah tidak bisa lagi berharap kepada "mobil bekas" untuk menaiki tanjakan yang terjal. Kalaupun "mobil bekas" diperbaiki, itu bukan solusi. Lebih baik membeli "mobil baru". Kepemimpinan nasional saatnya diserahkan kepada kaum muda

Tapi dengan kondisi kaum muda Indonesia saat ini yang belum juga menunjukkan geliat untuk keluar dari persembunyiannya yang hanya bisa mengkritik dari luar sistem, muncul sebuah keraguan dan pesimisme akan kepemimpinan tersebut. Mungkinkan akan lahir kepemimpinan kaum muda di pemilu 2009 mendatang?

Harus diakui bahwa menguatnya wacana kepemimpinan kaum muda adalah tamparan yang amat telanjang bagi partai politik. Partai politik gagal merotasi kepemimpinan nasional pada tokoh-tokoh muda yang masih segar. Karena itu, wacana kepemimpinan kaum muda yang tidak didukung partai politik akan membuat partai makin tidak populer di mata publik. Partai akan dinilai sekadar alat akumulasi kekuasaan karena tidak properubahan. Partai yang terlalu bersandar pada orang-orang tua perlahan-lahan akan membajak demokrasi, bukan memberi titik terang bagi jalan demokratisasi.

Namun, apapun argumen yang ingin dibangun, kehadiran Obama dan Jidal sebagai perwakilan kaum muda dalam panggung politik Amerika harus menjadi sebuah pelajaran bagi kelompok aktivis muda di Indonesia untuk tampil menjadi alternatif baru kepemimpinan di Indonesia. Untuk itu, kekahawatiran partai politik yang saat ini masih di dominasi kaum tua, harus dijadikan momen oleh kaum muda untuk tampil kepermukaan panggung politik negeri ini.**

Rabu, 06 Februari 2008

Kekerasan Elit
Oleh : Sunardi Panjaitan


Kekerasan yang terjadi dalam masyarakat pada dasarnya merupakan turunan dari kekerasan yang dilakukan oleh kaum elit. Baik itu elit politik, elit agama dan elit masyarakat lainnya. Kekerasan yang dilakukan oleh elit (pemimpin) yang tanpa disadari telah menyeret masyarakat terlibat dalam kekerasan massa.

Hal ini terjadi karena elit (pemimpin) dijadikan oleh masyarakat sebagai uswah (teladan). Elit-pemimpin baik dalam tingkatan masyarakat sosial, politik dan agama adalah orang yang dijunjung tinggi, sehingga apa yang dilakukannya menjadi referensi dan dasar yang sangat kuat bagi para pengikut dan bawahnnya.

Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau keputusan pemimpin politik atas perkara pemilu atau pilkada disuatu negara atau daerah mampu membuat masyarakat untuk berbuat anarkis. Atau keputusan pemimpin agama (ulama) bisa menjadi dasar pembenar terhadap tindakan penyerangan terhadap agama lain atau keyakinan lain yang dianggap sesat. Bahkan keputusan kepala adat atau suku menjadi pijakan awal dalam melakukan penyerangan terhadap suku atau etnis yang lain.

Akar Kekerasan

Apa yang terjadi saat ini di Kenya adalah salah satu bukti nyata kekerasan yang dilakukan oleh para elit politik negeri itu. Perseteruan antara tokoh oposisi Kenya Raila Odinga dengan presiden Kenya Mwai Kibaki atas hasil pemilu yang dilaksanakan pada 27 desember 2007 yang lalu telah menyeret masyarakat dalam peperangan etnis/suku yang semakin meluas. Tidak hanya sekedar penolakan terhadap hasil pemilu yang dilakukan oleh masyarakat pendukung oposisi tapi sudah melangkah jauh ke pada peperangan etnis di negara tersebut.

Konflik atau kerusuhan sosial atau pilitik tidak akan terjadi apabila tidak didahuluai oleh faktor-faktor eskalator maupun pemicu. Perang antar kelompok pendukung politik yang merambat jauh kepada pertikaian etnis di Kenya, pada dasarnya adalah kekerasan para elit politik negeri tersebut yang tidak mau menerima kekalahan dalam pemilu. Presiden Mbai Kibaki yang mempertahankan status quo-nya serta Raila Odinga yang menolak penetapan Mbai Kibaki sebagai presiden hasil pemilu. Hal ini lah yang menjadi akar kekerasan yang terjadi sehingga menyebabkan terjadinya kerusuhan massal yang melibatkan suku dan etnis pendukung.
Disamping itu, perilaku agresif manusia yang diwujudkan dalam peperangan, kejahatan, perkelahian dan segala perilaku destruktif dan sadistis ditimbulkan oleh insting bawaan yang telah terprogram secara foligenetik. Insting ini berupaya mencari penyaluran dan selalu menunggu kesempatan yang tepat untuk melampiaskannya. Dan insting masyarakat yang sadistis tersebut menemukan moment yang tepat pada perseteruan politik yang terjadi. Sehingga menyebabkan terjadinya perang yang merugikan banyak pihak.

Ke-Insyaf-an politik

Dalam situasi politik yang tidak stabil seperti yang terjadi di Kenya atau bahkan di beberapa negara dan daerah di Indonesia seperti sulawesi selatan dan maluku utara, konflik dan kekerasan akan mudah berkembang. Tidak hanya di picu oleh persoalan politik semata, problem sosial, ekonomi, ras, suku dan agama juga menjadi pemicu terjadinya kerusuhan sosial di masyarakat.

Konflik yang terjadi di Kenya merupakan konflik yang termanifestasikan secara real, dipicu oleh berbagai sebab dan lingkungan sosial yang bersifat "transisi", tapi konflik jenis ini juga sering pula dipicu oleh keinginan satu kelompok, negara atau etnis untuk menguasai negara, kelompok dan etnis lain. Gordon J. DiRenzo dalam Human Social Behavior: Concepts and Principles of Sosiology mengungkapkan bahwa konflik semacam ini hadir sebagai manifestasi dari ketegangan sosial, politik, ekonomi dan budaya atau bisa juga disebabkan oleh perasaan ketidakpuasan umum (sense of discontent) serta adanya sumberdaya mobilisasi (resource mobilization).
Untuk menyelesaikan konflik dan kekerasan yang terjadi, diperlukan sebuah resolusi demi terciptanya stabilitas negara. Pertama, perubahan secara bertahap termasuk dalam pergantian pejabat negara, merupakan salah satu kunci dari perubahan damai yang harus dilakukan sekarang.

Kedua, para elit politik harus sungguh-sungguh memberikan teladan (uswah) untuk bersama-sama membangun berbagai kelembagaan sosial dan politik yang mendorong demokratisasi. Raila Odinga dari oposisi dan Presiden Mwai Kibaki dengan status quo yang sebenarnya menjadi akar kekerasan dan konflik yang terjadi harus menjadikan momentum sosial yang terjadi untuk saling melakukan ijtihat politik dan keinsyafan politik.

Sebaliknya, jika mengabaikan hal diatas, bukan mustahil kemelut yang terjadi serta ketidakpastian akan menyebabkan negara semakin jauh mengalami kemerosotan dan masyarakat akan terus menjadi koban kekerasan politik yang semakin luas.
Hal ini juga berlaku dalam kontek politik nasional Indonesia, dimana para tokoh-tokoh politik yang saat ini berkompetisi dalam beberapa pemilihan kepala daerah harus berani menjadi orang terdepan dalam menyelesaikan konflik antar pendukung yang sering terjadi pasca pilkada.

Partisipasi Politik Ala Selebriti
Oleh: Sunardi Panjaitan

Kehadiran para pekerja infotaiment atau yang biasa disebut dengan selebriti merupakan pertunjukan baru dalam teater politik Indonesia. Hal ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam dunia perpolitikan nasional. Sejak orde baru, peran selebriti dalam percaturan politik mulai terlihat.

Politik dan selebriti ibarat dua keping mata uang yang selalu hadir bersamaan dan saling membutuhkan. Keduanya berjalan beriringan untuk mencapai tujuan abadi dari politik yakni kekuasaan.
Selebriti semakin menegaskan partisipasinya dalam politik pada era reformasi ini. Tidak hanya sebagai penghibur dan partisan semata, akan tetapi mereka melakukan reposisi dengan melangkah lebih jauh menjadi aktor politik itu sendiri.

Terpilihnya beberapa selebriti menjadi anggota dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada pemilu 2004 menjadi penegasan awal keberadaan selebriti dalam kancah perpolitikan. Walaupun sejauh ini partisipasi mereka belum memperlihatkan hasil yang signifikan , akan tetapi partisipasi mereka seakan tidak bisa dibendung lagi.

Munculnya Rano Karno dalam pilkada Tangerang mendampingi Ismet Iskandar yang unggul atas calon lainnya. Dan pelantikan beberapa artis menjadi anggota partai serta majunya Dede Yusuf dalam pilkada Jawa Barat mendampingi Ahmad Heriawan semakin menegaskan partisipasi politik selebriti.

Aktualisasi atau Pelarian

Pertanyaan yang muncul melihat realitas ini adalah apakah peran yang diambil oleh para selebriti untuk menjadi aktor dalam berpolitik adalah sebuah aktualisasi diri atau hanya sekedar pelarian dan mengejar ambisi pribadi dengan memamfaatkan kesohoran untuk mencapai tujuan tertentu? Aktualisasi dalam artian bahwa selama ini para selebriti hanya menjadi duta-duta sosial yang diangkat oleh pemerintah atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Untuk mengaktualisasikan peran yang sudah dilakoni selama menjadi duta maka para selebriti banting setir untuk terjun langsung ke dalam ranah politik yang dianggap membuka jalan untuk mencapai tujuan awalnya selama menjadi duta.

Atau tujuan lainnya adalah hanya sekedar pelarian dari dunia keartisan yang selama ini digelutinya. Hal ini dimungkinkan untuk terjadi, karena persaingan di dunia entertaiment sangatlah ketat. Banyaknya pendatang baru membuat para pemain lama kehilangan job yang selama ini di dapat. Hal ini membuat para selebriti mencari jalan lain untuk mempertahankan statusnya. Dan dunia politik menjadi pelarian tersebut karena pada satu sisi para selebriti mempunyai modal awal yakni kepopuleran selama menjadi artis. Walaupun tidak mempunyai basic politik sama sekali. Dan di sisi yang lain partai politik juga membutuhkan para selebriti terutama untuk meraup suara sebanyak-banyaknya dari para pemilih.

Implikasi Sebuah Pilihan

Melihat faktor-faktor yang mempengaruhi dan melatar belakangi terjunnya para selebriti dalam dunia politik, perlu sebuah perenungan yang lebih dalam bagi banyak kalangan terutama masyarakat awam yang selalu menjadi korban dalam setiap aktivitas dan kebijakan politik.
Bagi para selebriti dengan latar belakang terjung ke pentas politik sebagai aktualisasi diri dalam mengimplementasikan agenda-agenda sosial yang sudah dirancang sebelum terjun ke dunia politik akan berdampak positif bagi masyarakat pada umumnya.

Selanjutnya yang menghawatirkan adalah jika para selebriti mempunyai tujuan yang kedua yaitu hanya sebagai pelarian dari dunia entertaiment yang selama ini digelutinya. Hal ini akan berdampak pada tidak seriusnya para selebriti jika terpilih menjadi anggota dewan atau pejabat gubernur dan bupati. Sehingga pada akhirnya kehadiran mereka dalam pentas politik hanya sebagai pelengkap semata.

Untuk itu, butuh sebuah keseriusan bagi para selebriti yang sudah menceburkan diri dalam dunia politik yang penuh dengan intrik (meminjam lirik Iwan Fals) dan taktik, apakah mereka mampu mengambil peran yang signifikan dalam menentukan kebijakan yang pada akhirnya akan membawa kesejahteraan pada masyarakat yang telah memberikan kepercayaannya. Atau mereka hanya akan menjadi barang yang selalu dimamfaatkan oleh elit politik untuk mempertahankan status quo-nya.

Meminjam istilah Eef Saefulloh Fatah, bahwa yang diharapkan dari para selebriti yang mengambil jalan untuk terjun langsung dalam politik praktis adalah adanya "tanggung jawab zaman", yakni tidak hanya sekedar menjual pesona pribadi ke hadapan para pemilih, tapi juga membawa serta tawaran-tawaran politik yang substansial.()

Senin, 24 Desember 2007

LUKA PILU SAHABATKU

Beberapa waktu yang lalu, tanpa disengaja aku berkenalan dengan seorang gadis remaja melalui seorang teman Sebut saja namanya Nur. Perkenalan itu berlanjut dengan komunikasi yang sangat intens antara aku dan dia. Hingga tepat pada hari senin (16/07/07) yang lalu dia menyuruh aku datang kekontrakannya (kebetulan dia anak Kost) di Kota Bandung. Akhirnya dengan modal yang pas-pas-an aku berangkat ke Bandung. Karena terlalu mendadak dan karena sifatnya yang penting, akhirnya aku berangkat ke Bandung.
Sesampainya di Kosa-nya, ekspresi pertamaku adalah kaget karena dia bukan seperti gadis yang kukenal beberapa waktu yang lalu, yang feminim, tapi yang kutemui saat itu adalah seorang gadis tomboi dan gaul ( karena gaya-nya yang seperti laki-laki). Yang paling membuatku kaget lagi adalah dia ternyata merokok.
Awalnya kami hanya cerita hal-hal biasa, mulai dari pekerjaan, sekolah hingga masalah percintaan. Tapi ketika aku minta pendapat dia tentang laki-laki, dia malah menangis. Terus terang aku bingun dengan kejadian ini. Aku tanya kenapa menangis? dia malah diam. Tapi itu tak berlangsung lama karena dia akhirnya mau cerita masalah yang sebenarnya. Untung sebelumnya kami sudah akrab walau hanya melalui SMS dan telpon. Jadi nggak sulit untuk meminta dia cerita masalahnya.
Dia menganggap semua laki-laki itu penipu dan brengsek. Dia mempunyai pengalaman buruk dengan laki-laki tapi bukan putus cinta. Awal ceritanya terjadi 10 tahun yang lalu, saat dia baru kelas 2 SMA yang katanya dia masih polos tentang masalah hubungan laki-laki dan perempuan. Saat itu dia mempunyai kakak perempuan yang baru saja menikah dengan suaminya. Beberapa minggu setelah itu kejadian itu pun terjadi.
Pada suatu malam, saat dia sedang tidur di kamarnya (kebetulan katanya dia sendiri dikamar tersebut –dia masih punya kakak perempuan yang lain, tapi saat kejadiaan kakaknya tidak ada dirumah karena sudah kerja di Bandung) kakak iparnya masuk kamarnya. Saat itu dia belum mengetahui kalau kakak iparnya masuk kamarnya, karena dia lagi tidur. Dia terbangun dari tidurnya saat dia merasa ada yang meraba-raba tubuhnya. Saat dia bangun, dia melihat kakak iparnya sudah berada di depannya. Dia tanya ke kakak iparnya, kenapa dia ada dikamarnya. Kakak iparnya menjawab dia tadi melihat banyangan orang di luar rumah saat dia menonton TV di ruang tamu. Karena takut dia masuk kamar Nur dan dengan ekspresi orang ketakutan –badan menggigil-. Karena Nur menganggap kakak iparnya adalah orang yang baik –kebetulan kakak iparnya seorang ulama di kampungnya, Lulusan Pesantren Gontor- Nur tidak mencurigai apa-apa sama kakak iparnya. Dia pun mempersilahkan kakak iparnya tidur disampingnya, walau tempat tidurnya hanya muat untuk satu orang.
Saat mereka tidur, Nur yang kebetulan waktu itu sakit flu, kakak iparnya menawarkan diri untuk mengurut lehernya. Nur menurut saja, karena dia tidak mempunyai kecurigaan terhadap kakaknya. Saat diurut dia merasa ada sesuatu yang aneh dengan kakak iparnya. Karena tangannya tidak hanya meraba bagian lehernya tapi sudah kebagian tubuh yang lain. Saat itu kakaknya mengajak dia untuk berhubungan suami-istri. Nur yang sejak awal tak menaruh kecurigaan pada kakak iparnya kaget bukan maen, lantas dia turun dari tempat tidur. Tapi kakak iparnya sudah memegang tanganya terlebih dahulu biar dia tidak bisa pergi. Lantas dia menangis. Mungkin karena takut ketahuan sama orang satu rumah, kakak iparnya akhirnya keluar dari kamar Nur dan sebelum keluar dia bilang sama Nur untuk tidak bilang ke siapa-siapa tentang kejadian malam itu.
Kejadian itu ternyata tidak hanya terjadi satu kali itu saja. 2 bulan berikutnya kakak iparnya kembali masuk kamarnya dan kembali mengajak Nur melakukan hubungan suami-istri. Karena Nur tidak tahan dengan kelakuan kakak iparnya, dia memutuskan untuk ikut kakak perempuannya yang kedua di Bandung. Di Bandung dia mulai melupakan kejadian yang pernah dia alami saat di rumah, tapi sampai 10 tahun dia belum bisa melupakan kejadian itu. Bahkan sampai saat ini kejadiaan itu kembali sering teringat mengingat dia mempunyai adik perempuan yang baru kelas 3 SLTP dan tinggal bersama kakak iparnya di rumah orang tuanya. Ketika dia mengingat kejadian waktu lalu yang dilakukan oleh kakak iparnya, dia selalu khawatir kejadian serupa akan di alami oleh adik perempuannya.
Dia sudah berusaha memberitahukan kejadian ini ke beberapa keluarganya. Salah satunya adalah kakak perempuannya yang kedua, tapi tidak respon apa-apa. Begitu juga waktu dia bilang ke Tantenya, juga tidak mendapat respon yang positif. Harapanya hanya tinggal adek laki-lakinya yang baru saja wisuda di salah satu Universitas di Bandung. Namun, Nur masih mempersiapkan segalanya, termasuk mentalnya.
Dia tidak mau menceritakan kejadian ini sama kakak kandungnya (istri dari kakak iparnya) dan juga ibunya karena dia tidak mau melihat keluarga kakaknya berantakan karena kejadian itu, atau ibunya nanti makin menderita mendengar berita itu. Dia semakin kasihan sama ibunya karena sudah lama dimadu oleh bapaknya sendiri. Bapaknya menikah lagi dengan perempuan lain waktu dia masih berusia 8 tahun. Hal ini juga semakin menambah kebenciaannya sama laki-laki.
Akhirnya dia menyimpan sendiri masalah ini, bahkan sampai saat ini. Karena kejadiaan itulah Nur hidup saat ini seperti tidak mempunyai arti. Tiap hari menyendiri di kamar kostnya, merokok, main gitar dan lain sebagainya. Bahkan tidurpun menurut pengakuannya tidak bisa, karena dia bisa tidak tidur dalam sehari semalam.
Walau akhir-akhir ini dia sudah mulai membuka diri terhadap laki-laki, termasuk aku salah satunya yang sudah dianggap sebagai teman dekatnya karena katanya hanya aku, orang selain dari keluarganya dan teman satu kamarnya yang dia ceritakan masalah ini. Tapi pandangan dia terhadap laki-laki tidak pernah berubah kalau dia teringat masalah itu.
Aku sendiri merasa kasihan juga dengan dia, apalagi melihat akibat dari kejadian itu terhadap dirinya. Tapi aku tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalahnya. Apa yang bisa aku buat untuk membuatnya bisa melupakan kejadian itu dan terutama mengeluarkan adik perempuannya dari kemungkinan mendapat perlakuan serupa dari kakak iparnya? Aku suruh dia untuk melaporkan saja ke pada pihak yang berwenang, dia nggak mau, karena kasihan sama kakaknya dan keluarganya yang terkena imbasnya nanti. Inilah kalau perasaan yang di dahulukan dari pada penyelesaian jangka panjang.
Mohon tanggapan dan jalan keluarnya.....

BAB IV
IMPLEMENTASI TEORI BATAS DALAM HUKUM WARIS

A. Ketentuan Umum Hukum Waris Dalam Al-Qur’an
Waris adalah apa-apa yang ditinggalkan oleh orang-orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syariat untuk dipusakai oleh para hali waris[1].
Dalam kompilasi hukum Islam, menjelaskan bahwa kewarisa adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris yang menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagian masing.
Dalam al-Qur’an, menurut bahasa kata waris berasal dari kata “warasa”yang memiliki beberapa arti:
Berarti pengganti (QS. Al-Naml,19 :16)

Artinya: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata: “Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang sesuatu burung dan kami diberi segala sesuatu, sesungguhnya ioni benar-benar suatu karunia yang nyata”

Berarti memberi (QS. Az-Zumar,39:74)

Artinya: “Mereka berkata: Puji-pjian bagi Allah yang telah menepati janji-Nya dan telah mewariskan (memberikan) bumi kepada kami, kami tetap tinggal dalam surga, menurut kehendak kami, maka inlah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal”

Berarti mewarisi (QS. Maryam, 19:16)

Artinya : “Yang akan mewarisi dan diwarisi keluarga Ya’kub, dan jadikanlah dia, ya Tuhanku, seorang yang disukai. (QS. Maryam, 19:16)

Sedangkan M. Idris Ramulyo mendefinisikan, warisan adalah harta kekayaan dari seseorang yang telah meninggal dunia, dapat berupa :
Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang serta piutang atau altiva
Harta kekayaan yang merupakan hutang-hutang yang belum dibayar saat meninggal dunia atau pasiva[2]
Sedangkan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) didefinisikan, harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.
Sedangkan ahli waris adalah orang yang mewarisi harta peniggalan muwarris lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya ikatan perkawinan, huibungan darah (keturunan) dan hubungan hak perwalian dengan si muwarris[3].
Hukum kewarisan, sering dikenal dengan istilah faraid, bentuk jama’ dari kata tunggal faridah, artinya ketentuan. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah di bakukan dalam al-Qur’an.
Dalam surat An-Nisa’ ayat 11-12, Allah dengan jelas mengatir tentang ketentuan-ketentuan warisan yang menjadi hal ahli waris. Adapun sebab turunnya ayat ini adalah untuk menjawab kesewenang-wenangan saudara Sa’ad ibn al-Rabi yang ingin menguasai kekeyaan peninggalannya ketika Sa’ad tewas di medan peperangan. ”Ata” meriwayatkan:
”Sa’ad Ibn Abi al-Rabi tewas (di medan peperangan sebagai syuhid) meninggalkan dua anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Kemudian saudara laki-lakinya mengambil harta (peninggalannya) seluruhnya. Maka datanglah istri Sa’ad, dan berkata kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah SAW, ini adalah dua anak Sa’ad dan Sa’ad telah meninggal di medan peperangan, pamannya telah mengambil harta kedua anak tersebut seluruhnya”. Maka bersabda Rasulullah SAW : “Kembalilah kamu, barangkali Allah memberi keuputusan dalam masalah ini”. Maka kembalilah istri Sa’ad tersebut setelah itu dan menangis. Maka trurnlah ayat ini (QS. An-Nisa, 4: 11-12) maka Rasulullah SAW memanngil pamannya dan bersabda : “berilah kedua anak perempuan Sa’ad dua pertiga (al-sulusain), ibunya seperdelapan (al-sumua) dan sisanya untuk kamu”[4].

Turunnya ayat tersebut, merupakan awal penentuan bagian waris dalam Islam[5]. Memang jika melihat sejarah pada zaman jahiliyyah sebab-sebab mempusakai ada tiga yaitu:
1. Adanya pertalian kerabat (Qarabah)
2. Adanya janji pra setia (Muhallafah), dan
3. Adanya pengangkatan anak (tabanny atau adopsi)[6]
Adapun tentang ketentuan dalam hukum waris Islam, sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an, bahwa laki-laki mendapat dua kali lipat bagian dari anak perempuan, Ash-Shabuni memberikan alasan yang berdasarkan banyak hikmah, diantaranya :
a. Kebutuhan wanita sudah tercukupi, nafkahnya merupakan kewajiban kaum kerabatnya, ayah-ibunya, anak-anaknya dan lain sebagainya dari kerabat yang paling dekat dengannya, yang demikian ini di dasarkan pada banyak hikmah syariat yang agung, agar orang yang memiliki kelapangan mengeluarkan infaq dari kelapangan itu
b. Wanita tidak dibebani memberikan infaq kepada seseorang. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang berkewajiban memberikan nafkah kepada keluarga yang ada dalam tanggungannya, seperti anak, keluarga dan siapapun yang memang haru diberi nafkah
c. Laki-laki harus menyerahkan mahar kepada istri dan berkewajiban memberikan makanan dan pakaian bagi istri dan anak-anaknya
d. Laki-laki harus menjamin biaya sekolah anak-anaknya, pengobatan istri dan anak-anaknya jika mereka sakit, yang berkewajiban semacam ini tidak sibebankan kepada istri[7].

B. PEMIKIRAN SHAHRUR TENTANG WARIS
Pewarisan adalah proses pemindahan harta yang dimiliki seseorang yang sudah meninggal dunia kepada pihak penerima (waratha) yang jumlah dan ukuran bagian yang diterimanya telah ditentukan dalam mekanisme wasiat, atau jika tidak ada wasiat maka penentuan pihak penerima, jumlah dan ukuran bagiannya (hazz) ditentukan dalam mekanisme pembagian waris[8].
Dari defenisi diatas, Sharur menjelaskan bahwa, prioritas utama dalam masalah waris terletak pada wasiat[9], yaitu adakalanya pewaris sudah menentukan wasiat sebelum ia meningal dunia dengan menyerahkan seluruh hartanya kepada karib kerabatnya setelah meninggal dunia, berdasarkan bahwa Allah mensyaratkan bahwa pemberlakuan hukum-hukum waris terjadi setelah dilaksanakan wasiat dan dibayar hutang-hutangnya.
Ayat pertama dari ayat-ayat waris dalam Al-Qur’an di mulai dengan kalimat : yusikumullahu fi auladikum (Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk ) anak-anakmu)(Qs. An-Nisa (4):11). Dan ditutup dengan firman Allah : Wasiyyatan min Allahi wa Allahu ‘Alimun hakim (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syarat yang benar-benar dari Allah ( Allah adalah Maha Mengetahui labi Maha Teliti (QS. An-Nisa (4):12) [10].
Dari sini memahami satu hal yang sangat menganduk petunjuk yang dianggap sangat penting baginya, yaitu wasiat merupakan sebuah beban wajib (taklif) dari Allah kepada manusia seperti halnya sholat dan puasa. Bagi Shahrur wasiat merupakan sebuah kewajiban mutlak bagi setiap muslim. Belum bisa dilaksanakan proses pembagian harta waris jika wasiat belum dilaksanakan. Andaikan si pewaris tidak meninggalkan wasiat apapun, tetapi wasiat tetap diwajibkan, yang dalam hal ini wasiat diambil alih oleh Allah dan dimasukkan dan dimasukkan dalam mekanisme waris[11].
Shahrur menolak pandangan sebagaian ulama yang beranggapan bahwa wasiat dalam surat al-Baqarah ataupun dalam surat-surat lainnya telah dihapus oleh ayat-ayat waris dalam surat an-Nisa’. Dalam artian bahwa Shahrur menolak ilmu nasikh mansukh[12] yang dimunculkan oleh para ulama-ulama fiqih. Bagi Shahrur, adanya ayat-ayat dan hukum-hukum dalam al-Qur’an yang dihapus oleh ayat-ayat lain dan bahwa mereka menjadikan kitab Allah sebagai kitab yang temporal yang terikat dengan sebab dan peristiwa yang telah terjadi puluhan abad lalu, mereka bahkan beranggapan bahwa sunnah qawliyyah (sabda nabi) yang berwujud hadits Nabi –sebagaiman yang tercantum dalam kitab-kitab hadits ditangan umat Islam- memiliki otoritas untuk menghapus ayat dan hukum dalam kitab Allah. Bagi Shahrur, Mereka mengasumsikan bahwa Al-Qur’an lebih membutuhkan sunnah dari pada sunnah yang membutuhkan Al-Quran.
Pada bagian lain, Shahrur memandang bahwa patokan utama dalam penentuan hak waris ada pada pihak perempuan, sementara laki-laki senantiasa mengikuti dan menyesuaikan dengannya. Lebih dari itu, kekerabatan adalah dasar bagi pembagian harta warisan[13]. Shahrur beralasan bahwa kehidupan aktual saat ini dimana kebutuhan seorang perempuan kepada seorang laki-laki yang diikutinya dalam seluruh aktivitas dan tempat tinggalnya (ayah/saudara laki-laki/paman/anak laki-laki paman) telah berkurang dan menyusut pulalah spirit patriarkhis dan hubungan-hubungan famili kekeluargaan yang telah menetapkan kedudukan perempuan dalam masyarakat dan tunduk pada pemahaman para ahli fiqih dan para penafsir terhadap ayat-ayat waris dan kesetaraan. Selain itu menurut Shahrur, bahwa saat ini perempuan bisa membuahi dirinya sendiri tanpa laki-laki dengan menggunakan kloning, dan sebaliknya laki-laki tidak bisa membuahi dirinya sendiri tanpa seorang perempuan. Serta perempuan di abad 21 ini, mempunyai posisi yang sama dengan laki-laki baik dalam propesi maupun dalam tingkatan intelektual. Hal ini bisa dibuktikan dengan hampir diseluruh tingkatan perempuan mengambil peran, baik sebagai seorang dokter, pendidik, politisi, buruh dan lain-lain[14].
Dengan demikian, menurut Shahrur, sudah semestinya, setelah menyadari semuanya, umat Islam mengkaji ulang pembacaan ayat-ayat waris sesuai dengan pergeseran sejarah dan perubahan kebudayaan manusia, dan berangkat dari keuniversalan risalah Muhammad dan dari fakta bahwa kenyataan aktual (objektif) yang senantiasa tunduk kepad perubahan dalam pergeseran sejarah, yang merupakan satu-satunya cara untuk membuktikan kebenaran Kalam Allah.
Li adh-dhakari mithlu hazzi al-unthayayni (bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan). Ini adalah prinsip pertama dalam pembagian waris. Dalam prinsip ini, menurut Shahrur perempuan adalah dasar atau titik tolak dalam penentuan bagian masing-masing pihak. Bagi Shahrur, dalam ayat tersebut, Allah seakan-akan menyatakan: “ Perhatikan bagian (hazz) yang telah kalian tentukan untuk dua orang perempuan, lalu berikanlah semisal itu kepada pihak laki-laki”. Sangat tidak masuk akal mengetahui dan menentukan batasan sesuatu sebelum mengetahui dan menentukan batasan sesuatu yang dimisalkan tersebut[15].
Selanjutnya, lanjutan ayat diatas yakni : fa in kunna nisa’an fawqa ithnatayni fa lahunna thulusa ma taraka; wa in kanat wahidatan fa laha an-nisfu (...dan jika anak itu semuany perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh setengah harta) (QS. An-Nisa (4):11). Ayat ini merupakan nass wasiat yang mencakup seluruh prinsip-prinsip waris secara terperinci. Shahrur berpendapat bahwa ayat ini merupakan penjelasan dari kasus-kasus spesifik dari ketiga kasus waris yang menggambarkan hudud Allah (batas-batas hukum Allah)[16]. Kasus-kasus warisan ini mencakup pihak-pihak berikut yaitu : keluarga menurut garis asal (al-usul), keluarga menurut garis cabang (al-furu’) pasangan suami-istri (az-azwj) dan saudara (al-ikhwah). Dengan demikian, dalam pandangan Shahrur, pihak paman dari bapak (al-a’mam), pihak paman dari ibu (al-akhwat), anak laki-laki paman, dan seterusnya yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam ayat waris adalah pihak-pihak yang tidak berhak memperoleh bagian (hazz) apapun dari harta waris[17].
Ketiga kasus warisan yang menggambarkan hudud Allah (batas-batas hukum Allah) yakni :
1. Batas pertama hukum waris: li ad-dhakari mithlu hazzi al-unthayayi
Batasan ini adalah batas hukum yang membatasi jatah-jatah atau bagian-bagian (huzuz) bagi anak-anak si mayit jika mereka terdiri dari seorang laki-laki dan seorang dua orang anak perempauan. Pada saat yang bersamaan ini merupakan kriteria yang dapat diterapkan pada segala kasus, dimana jumlah perempuan dua kali lipat dari anak laki-laki.
Jumlah Pewaris
Jatah bagi laki-laki
Jatah bagi perempuan
1 laki-laki + 2 perempuan
Setengah (1/2) bagi satu laki-laki
Setengah (1/2) bagi dua perempuan
2 laki-laki + 4 perempuan
Setengah (1/2) bagi dua laki-laki
Setengah (1/2) bagi empat perempuan
3 laki-laki + 6 perempuan
Setengah (1/2) bagi tiga laki-laki
Setengah (1/2) bagi enam perempuan

Pembagian pada kasus ini dapat dirumuskan dengan persamaan :
F/M=2
F : jumlah perempuan (female)
M : jumlah laki-laki (male)

2. Batas kedua hukum waris: fa in kunna nisa’an fawqa inthnatayni
Batasan hukum ini membatasai jatah warisan anak-anak jika mereka terdiri dari seorang anak laki-laki dan tiga perempuan dan selebihnya (3,4,5…dst). Satu laki-laki ditambah perempuan lebih dari dua, maka bagi anak laki-laki adalah 1/3 dan bagaian anak perempuan adalah 2/3 berapa pun jumlah mereka. Batasan ini berlaku untuk kondisi ketika jumlah perempuan lebih dari dua kali jumlah perempuan.
Jumlah Pewaris
Jatah bagi laki-laki
Jatah bagi perempuan
1 laki-laki + 3 perempuan
1/3 bagi satu laki-laki
2/3 bagi 3 perempuan
2 laki-laki + 5 perempuan
1/3 bagi dua laki-laki
2/3 bagi 5 perempuan
1 laki-laki + 7 perempuan
1/3 bagi satu laki-laki
2/3 bagi 7 perempuan

Pembagian pada kasus ini dapat dirumuskan dengan persamaan :
F/M>2
F : jumlah perempuan (female)
M : jumlah laki-laki (male)
Pihak laki-laki pada kasus-kasus yang termasuk kategori rumusan ini tidak mengambil bagiannnya berdasarkan ketentuan “satu bagian laki-laki sebanding dengan dua bagian perempuan”. Pada dasarnya pembagian sama rata ini sangat alami, karena hukum batasan pertama hanya dapat diberlakukan pada satu kasus saja yang telah ditetapkan oleh Allah dan tidak dapat diterapkan pada kasus lainnya.
3. Batas ketiga hukum waris: wa in kanat wahidatan fa laha an-nisfu
Batas hukum ketiga ini membatasi jatah warisab anak-anak dalam kondisi ketika jumlah anak laki-laki sama dengan anak perempuan, dengan rumusan persamaannya adalah :
F/M=2
F : Jumlah anak perempuan
M : Jumlah anak laki-laki

Jumlah Pewaris
Jatah bagi laki-laki
Jatah bagi perempuan
1 laki-laki + 1 perempuan
Setengah (1/2) bagi satu laki-laki
Setengah (1/2) bagi satu perempuan
2 laki-laki + 2 perempuan
Setengah (1/2) bagi dua laki-laki
Setengah (1/2) bagi dua perempuan
3laki-laki + 3 perempuan
Setengah (1/2) bagi tiga laki-laki
Setengah (1/2) bagi tiga perempuan

C. TEORI BATAS SEBAGAI PILIHAN




[1] Faturrahman, Ilmu Waris, (Bandung, Al-ma’arif, 1971) hal 36
[2] M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Ind. Hill Co, 1987), hal 48-49
[3] Faturrahman, Loc. It
[4] Al-Nawawi, ­al-Tfasir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, Juz I, (Semarang, Usaha Keluarga, terj) hal. 141-142
[5] Ibid
[6] Faturrahman, Op. Cit
[7] Muh. Ash-Shabuni, Cahaya Al-Qur’an, terj. (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2000) Cet. Ke-I, hal 191-192
[8] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontempore, terj, (Yogyakarta, ElsaQ Press Cet : II, 2004) hal 334
[9] Wasiat adalah penyerahan hak atas harta tertentu dari seseorang kepada orang lain secara sukarela yang pelaksanaanya di tangguhkan hingga pemilik harta meninggal dunia. Dasar hukum wasiat adalah surat Al-Baqarah (2) : 18. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa wasiat merupakan sebuah kewajiban yang harus ditunaikan setelah mayit meninggal meninggal dunia. Lihat: Zainuddin, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006) hal 141-142)
[10] Dalam kondisi manusia tidak melakukan wasiat tersebut, maka Allah telah menetapkan wasiat umum demi terlaksananya maksud ini (kewajiban wasiat) yang mengungkapkan hukum unversal demi tercapainya keadilan umum, bukan keadilan yang khusus dan individual. Wasiat ini memliki bentuk penyeimbangnya yang dapat kita saksikan dalam realitas sosial saat ini, yang tidak terkait dengan ideologi politik tertentu, dalam arti bahwa wasiat tersebut bukan merupakan produk hokum dari kekuasaan pemerintahan tertentu, namun ia semata-mata adalah hokum universal yang berlaku bagi pembagian harta kekayaan setiap orang-orang yang meninggal dimuka bumi. Wasiat ini diberlakukan bukan dengan tujuan atas dasar hubungan kekerabatan atau kewajiban keluarga dari seseorang, namun lebih berupa hokum yang ditetapkan oleh Allah bagi masyarakat manusia secara keseluruhan, bukan bagi keluarga atau pribadi individu.
[11] Disinilah letak perbedaan pemahaman Shahrur dengan ulama fiqih lainnya, dimana menurut para ahli fiqih, waris adalah kewajiban, namun jika tidak ada wasiat yang ditinggalkan oleh pewaris maka waris bias langsung di bagikan tanpa diambil alih alih oleh Allah.
[12] Nasikh Mansukh secara etimologi terbagi dalam dua pengertian yaitu pertama berarti pembatalan dan penghapus (peniadaan). Sesuatu yang membatalkan, membatalkan, dan menghapuskan atau memindahkan disebut dengan nasikh, sedangkan sesuatu yang dibatalkan, dihapuskan atau dipindahkan disebut dengan mansukh. Secara terminologi nasikh adalah pembatalan hokum syara’ yang ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf dengan hokum syara’ yang sama yang datang kemudian. Lihat, Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997) hal 181-182
[13] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontempore, terj, (Yogyakarta, ElsaQ Press Cet : II, 2004) hal 442
[14] Alasan serupa juga disampaikan oleh Munawir Sjadzali ketika menggulirkan pemikirannya tentang reaktualisasi ajaran Islam, dimana dia melihat perempuan sudah mempunyai posisi yang sama dengan laki-laki. Lihat, Munawir Sadjali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997) hal. 62,
[15] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontempore, terj, (Yogyakarta, ElsaQ Press Cet : II, 2004) hal 340
[16] Ibid
[17] Ibid