BAB IV
IMPLEMENTASI TEORI BATAS DALAM HUKUM WARIS
A. Ketentuan Umum Hukum Waris Dalam Al-Qur’an
Waris adalah apa-apa yang ditinggalkan oleh orang-orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syariat untuk dipusakai oleh para hali waris
[1].
Dalam kompilasi hukum Islam, menjelaskan bahwa kewarisa adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris yang menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagian masing.
Dalam al-Qur’an, menurut bahasa kata waris berasal dari kata “warasa”yang memiliki beberapa arti:
Berarti pengganti (QS. Al-Naml,19 :16)
Artinya: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata: “Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang sesuatu burung dan kami diberi segala sesuatu, sesungguhnya ioni benar-benar suatu karunia yang nyata”
Berarti memberi (QS. Az-Zumar,39:74)
Artinya: “Mereka berkata: Puji-pjian bagi Allah yang telah menepati janji-Nya dan telah mewariskan (memberikan) bumi kepada kami, kami tetap tinggal dalam surga, menurut kehendak kami, maka inlah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal”
Berarti mewarisi (QS. Maryam, 19:16)
Artinya : “Yang akan mewarisi dan diwarisi keluarga Ya’kub, dan jadikanlah dia, ya Tuhanku, seorang yang disukai. (QS. Maryam, 19:16)
Sedangkan M. Idris Ramulyo mendefinisikan, warisan adalah harta kekayaan dari seseorang yang telah meninggal dunia, dapat berupa :
Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang serta piutang atau altiva
Harta kekayaan yang merupakan hutang-hutang yang belum dibayar saat meninggal dunia atau pasiva
[2]Sedangkan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) didefinisikan, harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.
Sedangkan ahli waris adalah orang yang mewarisi harta peniggalan muwarris lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya ikatan perkawinan, huibungan darah (keturunan) dan hubungan hak perwalian dengan si muwarris
[3].
Hukum kewarisan, sering dikenal dengan istilah faraid, bentuk jama’ dari kata tunggal faridah, artinya ketentuan. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah di bakukan dalam al-Qur’an.
Dalam surat An-Nisa’ ayat 11-12, Allah dengan jelas mengatir tentang ketentuan-ketentuan warisan yang menjadi hal ahli waris. Adapun sebab turunnya ayat ini adalah untuk menjawab kesewenang-wenangan saudara Sa’ad ibn al-Rabi yang ingin menguasai kekeyaan peninggalannya ketika Sa’ad tewas di medan peperangan. ”Ata” meriwayatkan:
”Sa’ad Ibn Abi al-Rabi tewas (di medan peperangan sebagai syuhid) meninggalkan dua anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Kemudian saudara laki-lakinya mengambil harta (peninggalannya) seluruhnya. Maka datanglah istri Sa’ad, dan berkata kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah SAW, ini adalah dua anak Sa’ad dan Sa’ad telah meninggal di medan peperangan, pamannya telah mengambil harta kedua anak tersebut seluruhnya”. Maka bersabda Rasulullah SAW : “Kembalilah kamu, barangkali Allah memberi keuputusan dalam masalah ini”. Maka kembalilah istri Sa’ad tersebut setelah itu dan menangis. Maka trurnlah ayat ini (QS. An-Nisa, 4: 11-12) maka Rasulullah SAW memanngil pamannya dan bersabda : “berilah kedua anak perempuan Sa’ad dua pertiga (al-sulusain), ibunya seperdelapan (al-sumua) dan sisanya untuk kamu”
[4].
Turunnya ayat tersebut, merupakan awal penentuan bagian waris dalam Islam
[5]. Memang jika melihat sejarah pada zaman jahiliyyah sebab-sebab mempusakai ada tiga yaitu:
1. Adanya pertalian kerabat (Qarabah)
2. Adanya janji pra setia (Muhallafah), dan
3. Adanya pengangkatan anak (tabanny atau adopsi)
[6]Adapun tentang ketentuan dalam hukum waris Islam, sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an, bahwa laki-laki mendapat dua kali lipat bagian dari anak perempuan, Ash-Shabuni memberikan alasan yang berdasarkan banyak hikmah, diantaranya :
a. Kebutuhan wanita sudah tercukupi, nafkahnya merupakan kewajiban kaum kerabatnya, ayah-ibunya, anak-anaknya dan lain sebagainya dari kerabat yang paling dekat dengannya, yang demikian ini di dasarkan pada banyak hikmah syariat yang agung, agar orang yang memiliki kelapangan mengeluarkan infaq dari kelapangan itu
b. Wanita tidak dibebani memberikan infaq kepada seseorang. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang berkewajiban memberikan nafkah kepada keluarga yang ada dalam tanggungannya, seperti anak, keluarga dan siapapun yang memang haru diberi nafkah
c. Laki-laki harus menyerahkan mahar kepada istri dan berkewajiban memberikan makanan dan pakaian bagi istri dan anak-anaknya
d. Laki-laki harus menjamin biaya sekolah anak-anaknya, pengobatan istri dan anak-anaknya jika mereka sakit, yang berkewajiban semacam ini tidak sibebankan kepada istri
[7].
B. PEMIKIRAN SHAHRUR TENTANG WARIS
Pewarisan adalah proses pemindahan harta yang dimiliki seseorang yang sudah meninggal dunia kepada pihak penerima (waratha) yang jumlah dan ukuran bagian yang diterimanya telah ditentukan dalam mekanisme wasiat, atau jika tidak ada wasiat maka penentuan pihak penerima, jumlah dan ukuran bagiannya (hazz) ditentukan dalam mekanisme pembagian waris
[8].
Dari defenisi diatas, Sharur menjelaskan bahwa, prioritas utama dalam masalah waris terletak pada wasiat
[9], yaitu adakalanya pewaris sudah menentukan wasiat sebelum ia meningal dunia dengan menyerahkan seluruh hartanya kepada karib kerabatnya setelah meninggal dunia, berdasarkan bahwa Allah mensyaratkan bahwa pemberlakuan hukum-hukum waris terjadi setelah dilaksanakan wasiat dan dibayar hutang-hutangnya.
Ayat pertama dari ayat-ayat waris dalam Al-Qur’an di mulai dengan kalimat : yusikumullahu fi auladikum (Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk ) anak-anakmu)(Qs. An-Nisa (4):11). Dan ditutup dengan firman Allah : Wasiyyatan min Allahi wa Allahu ‘Alimun hakim (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syarat yang benar-benar dari Allah ( Allah adalah Maha Mengetahui labi Maha Teliti (QS. An-Nisa (4):12)
[10].
Dari sini memahami satu hal yang sangat menganduk petunjuk yang dianggap sangat penting baginya, yaitu wasiat merupakan sebuah beban wajib (taklif) dari Allah kepada manusia seperti halnya sholat dan puasa. Bagi Shahrur wasiat merupakan sebuah kewajiban mutlak bagi setiap muslim. Belum bisa dilaksanakan proses pembagian harta waris jika wasiat belum dilaksanakan. Andaikan si pewaris tidak meninggalkan wasiat apapun, tetapi wasiat tetap diwajibkan, yang dalam hal ini wasiat diambil alih oleh Allah dan dimasukkan dan dimasukkan dalam mekanisme waris
[11].
Shahrur menolak pandangan sebagaian ulama yang beranggapan bahwa wasiat dalam surat al-Baqarah ataupun dalam surat-surat lainnya telah dihapus oleh ayat-ayat waris dalam surat an-Nisa’. Dalam artian bahwa Shahrur menolak ilmu nasikh mansukh
[12] yang dimunculkan oleh para ulama-ulama fiqih. Bagi Shahrur, adanya ayat-ayat dan hukum-hukum dalam al-Qur’an yang dihapus oleh ayat-ayat lain dan bahwa mereka menjadikan kitab Allah sebagai kitab yang temporal yang terikat dengan sebab dan peristiwa yang telah terjadi puluhan abad lalu, mereka bahkan beranggapan bahwa sunnah qawliyyah (sabda nabi) yang berwujud hadits Nabi –sebagaiman yang tercantum dalam kitab-kitab hadits ditangan umat Islam- memiliki otoritas untuk menghapus ayat dan hukum dalam kitab Allah. Bagi Shahrur, Mereka mengasumsikan bahwa Al-Qur’an lebih membutuhkan sunnah dari pada sunnah yang membutuhkan Al-Quran.
Pada bagian lain, Shahrur memandang bahwa patokan utama dalam penentuan hak waris ada pada pihak perempuan, sementara laki-laki senantiasa mengikuti dan menyesuaikan dengannya. Lebih dari itu, kekerabatan adalah dasar bagi pembagian harta warisan
[13]. Shahrur beralasan bahwa kehidupan aktual saat ini dimana kebutuhan seorang perempuan kepada seorang laki-laki yang diikutinya dalam seluruh aktivitas dan tempat tinggalnya (ayah/saudara laki-laki/paman/anak laki-laki paman) telah berkurang dan menyusut pulalah spirit patriarkhis dan hubungan-hubungan famili kekeluargaan yang telah menetapkan kedudukan perempuan dalam masyarakat dan tunduk pada pemahaman para ahli fiqih dan para penafsir terhadap ayat-ayat waris dan kesetaraan. Selain itu menurut Shahrur, bahwa saat ini perempuan bisa membuahi dirinya sendiri tanpa laki-laki dengan menggunakan kloning, dan sebaliknya laki-laki tidak bisa membuahi dirinya sendiri tanpa seorang perempuan. Serta perempuan di abad 21 ini, mempunyai posisi yang sama dengan laki-laki baik dalam propesi maupun dalam tingkatan intelektual. Hal ini bisa dibuktikan dengan hampir diseluruh tingkatan perempuan mengambil peran, baik sebagai seorang dokter, pendidik, politisi, buruh dan lain-lain
[14].
Dengan demikian, menurut Shahrur, sudah semestinya, setelah menyadari semuanya, umat Islam mengkaji ulang pembacaan ayat-ayat waris sesuai dengan pergeseran sejarah dan perubahan kebudayaan manusia, dan berangkat dari keuniversalan risalah Muhammad dan dari fakta bahwa kenyataan aktual (objektif) yang senantiasa tunduk kepad perubahan dalam pergeseran sejarah, yang merupakan satu-satunya cara untuk membuktikan kebenaran Kalam Allah.
Li adh-dhakari mithlu hazzi al-unthayayni (bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan). Ini adalah prinsip pertama dalam pembagian waris. Dalam prinsip ini, menurut Shahrur perempuan adalah dasar atau titik tolak dalam penentuan bagian masing-masing pihak. Bagi Shahrur, dalam ayat tersebut, Allah seakan-akan menyatakan: “ Perhatikan bagian (hazz) yang telah kalian tentukan untuk dua orang perempuan, lalu berikanlah semisal itu kepada pihak laki-laki”. Sangat tidak masuk akal mengetahui dan menentukan batasan sesuatu sebelum mengetahui dan menentukan batasan sesuatu yang dimisalkan tersebut
[15].
Selanjutnya, lanjutan ayat diatas yakni : fa in kunna nisa’an fawqa ithnatayni fa lahunna thulusa ma taraka; wa in kanat wahidatan fa laha an-nisfu (...dan jika anak itu semuany perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh setengah harta) (QS. An-Nisa (4):11). Ayat ini merupakan nass wasiat yang mencakup seluruh prinsip-prinsip waris secara terperinci. Shahrur berpendapat bahwa ayat ini merupakan penjelasan dari kasus-kasus spesifik dari ketiga kasus waris yang menggambarkan hudud Allah (batas-batas hukum Allah)
[16]. Kasus-kasus warisan ini mencakup pihak-pihak berikut yaitu : keluarga menurut garis asal (al-usul), keluarga menurut garis cabang (al-furu’) pasangan suami-istri (az-azwj) dan saudara (al-ikhwah). Dengan demikian, dalam pandangan Shahrur, pihak paman dari bapak (al-a’mam), pihak paman dari ibu (al-akhwat), anak laki-laki paman, dan seterusnya yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam ayat waris adalah pihak-pihak yang tidak berhak memperoleh bagian (hazz) apapun dari harta waris
[17].
Ketiga kasus warisan yang menggambarkan hudud Allah (batas-batas hukum Allah) yakni :
1. Batas pertama hukum waris: li ad-dhakari mithlu hazzi al-unthayayi
Batasan ini adalah batas hukum yang membatasi jatah-jatah atau bagian-bagian (huzuz) bagi anak-anak si mayit jika mereka terdiri dari seorang laki-laki dan seorang dua orang anak perempauan. Pada saat yang bersamaan ini merupakan kriteria yang dapat diterapkan pada segala kasus, dimana jumlah perempuan dua kali lipat dari anak laki-laki.
Jumlah Pewaris
Jatah bagi laki-laki
Jatah bagi perempuan
1 laki-laki + 2 perempuan
Setengah (1/2) bagi satu laki-laki
Setengah (1/2) bagi dua perempuan
2 laki-laki + 4 perempuan
Setengah (1/2) bagi dua laki-laki
Setengah (1/2) bagi empat perempuan
3 laki-laki + 6 perempuan
Setengah (1/2) bagi tiga laki-laki
Setengah (1/2) bagi enam perempuan
Pembagian pada kasus ini dapat dirumuskan dengan persamaan :
F/M=2
F : jumlah perempuan (female)
M : jumlah laki-laki (male)
2. Batas kedua hukum waris: fa in kunna nisa’an fawqa inthnatayni
Batasan hukum ini membatasai jatah warisan anak-anak jika mereka terdiri dari seorang anak laki-laki dan tiga perempuan dan selebihnya (3,4,5…dst). Satu laki-laki ditambah perempuan lebih dari dua, maka bagi anak laki-laki adalah 1/3 dan bagaian anak perempuan adalah 2/3 berapa pun jumlah mereka. Batasan ini berlaku untuk kondisi ketika jumlah perempuan lebih dari dua kali jumlah perempuan.
Jumlah Pewaris
Jatah bagi laki-laki
Jatah bagi perempuan
1 laki-laki + 3 perempuan
1/3 bagi satu laki-laki
2/3 bagi 3 perempuan
2 laki-laki + 5 perempuan
1/3 bagi dua laki-laki
2/3 bagi 5 perempuan
1 laki-laki + 7 perempuan
1/3 bagi satu laki-laki
2/3 bagi 7 perempuan
Pembagian pada kasus ini dapat dirumuskan dengan persamaan :
F/M>2
F : jumlah perempuan (female)
M : jumlah laki-laki (male)
Pihak laki-laki pada kasus-kasus yang termasuk kategori rumusan ini tidak mengambil bagiannnya berdasarkan ketentuan “satu bagian laki-laki sebanding dengan dua bagian perempuan”. Pada dasarnya pembagian sama rata ini sangat alami, karena hukum batasan pertama hanya dapat diberlakukan pada satu kasus saja yang telah ditetapkan oleh Allah dan tidak dapat diterapkan pada kasus lainnya.
3. Batas ketiga hukum waris: wa in kanat wahidatan fa laha an-nisfu
Batas hukum ketiga ini membatasi jatah warisab anak-anak dalam kondisi ketika jumlah anak laki-laki sama dengan anak perempuan, dengan rumusan persamaannya adalah :
F/M=2
F : Jumlah anak perempuan
M : Jumlah anak laki-laki
Jumlah Pewaris
Jatah bagi laki-laki
Jatah bagi perempuan
1 laki-laki + 1 perempuan
Setengah (1/2) bagi satu laki-laki
Setengah (1/2) bagi satu perempuan
2 laki-laki + 2 perempuan
Setengah (1/2) bagi dua laki-laki
Setengah (1/2) bagi dua perempuan
3laki-laki + 3 perempuan
Setengah (1/2) bagi tiga laki-laki
Setengah (1/2) bagi tiga perempuan
C. TEORI BATAS SEBAGAI PILIHAN
[1] Faturrahman, Ilmu Waris, (Bandung, Al-ma’arif, 1971) hal 36
[2] M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Ind. Hill Co, 1987), hal 48-49
[3] Faturrahman, Loc. It
[4] Al-Nawawi, al-Tfasir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, Juz I, (Semarang, Usaha Keluarga, terj) hal. 141-142
[5] Ibid
[6] Faturrahman, Op. Cit
[7] Muh. Ash-Shabuni, Cahaya Al-Qur’an, terj. (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2000) Cet. Ke-I, hal 191-192
[8] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontempore, terj, (Yogyakarta, ElsaQ Press Cet : II, 2004) hal 334
[9] Wasiat adalah penyerahan hak atas harta tertentu dari seseorang kepada orang lain secara sukarela yang pelaksanaanya di tangguhkan hingga pemilik harta meninggal dunia. Dasar hukum wasiat adalah surat Al-Baqarah (2) : 18. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa wasiat merupakan sebuah kewajiban yang harus ditunaikan setelah mayit meninggal meninggal dunia. Lihat: Zainuddin, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006) hal 141-142)
[10] Dalam kondisi manusia tidak melakukan wasiat tersebut, maka Allah telah menetapkan wasiat umum demi terlaksananya maksud ini (kewajiban wasiat) yang mengungkapkan hukum unversal demi tercapainya keadilan umum, bukan keadilan yang khusus dan individual. Wasiat ini memliki bentuk penyeimbangnya yang dapat kita saksikan dalam realitas sosial saat ini, yang tidak terkait dengan ideologi politik tertentu, dalam arti bahwa wasiat tersebut bukan merupakan produk hokum dari kekuasaan pemerintahan tertentu, namun ia semata-mata adalah hokum universal yang berlaku bagi pembagian harta kekayaan setiap orang-orang yang meninggal dimuka bumi. Wasiat ini diberlakukan bukan dengan tujuan atas dasar hubungan kekerabatan atau kewajiban keluarga dari seseorang, namun lebih berupa hokum yang ditetapkan oleh Allah bagi masyarakat manusia secara keseluruhan, bukan bagi keluarga atau pribadi individu.
[11] Disinilah letak perbedaan pemahaman Shahrur dengan ulama fiqih lainnya, dimana menurut para ahli fiqih, waris adalah kewajiban, namun jika tidak ada wasiat yang ditinggalkan oleh pewaris maka waris bias langsung di bagikan tanpa diambil alih alih oleh Allah.
[12] Nasikh Mansukh secara etimologi terbagi dalam dua pengertian yaitu pertama berarti pembatalan dan penghapus (peniadaan). Sesuatu yang membatalkan, membatalkan, dan menghapuskan atau memindahkan disebut dengan nasikh, sedangkan sesuatu yang dibatalkan, dihapuskan atau dipindahkan disebut dengan mansukh. Secara terminologi nasikh adalah pembatalan hokum syara’ yang ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf dengan hokum syara’ yang sama yang datang kemudian. Lihat, Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997) hal 181-182
[13] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontempore, terj, (Yogyakarta, ElsaQ Press Cet : II, 2004) hal 442
[14] Alasan serupa juga disampaikan oleh Munawir Sjadzali ketika menggulirkan pemikirannya tentang reaktualisasi ajaran Islam, dimana dia melihat perempuan sudah mempunyai posisi yang sama dengan laki-laki. Lihat, Munawir Sadjali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997) hal. 62,
[15] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontempore, terj, (Yogyakarta, ElsaQ Press Cet : II, 2004) hal 340
[16] Ibid
[17] Ibid